Menangislah Sepuasnya, Berkabung Bukan Gangguan Jiwa
Berlarut-larut menangisi kematian orang yang dicintai mungkin dianggap berlebihan jika berlangsung sampai berbulan-bulan. Namun sejumlah ahli kejiwaan mengatakan, perilaku ini tidak bisa begitu saja digolongkan sebagai gangguan jiwa.
"Berkabung bukan sebuah penyakit, ini adalah perilaku yang lebih berguna sebagai bagian dari manusia dan respons normal atas kematian orang yang dicintai," tulis para ahli dalam editorial jurnal The Lancet edisi terbaru, seperti dikutip dari Dailymail, Minggu (19/2/2012)
Pernyataan ini disampaikan terkait rencana para ahli lainnya yang tergabung dalam American Psychiatric Association untuk memperketat kriteria berkabung yang bisa disebut sebagai gangguan jiwa. Jika semula batasnya masih dalam hitungan bulan, rencananya akan diperpendek menjadi dua pekan saja.
Menangislah Sepuasnya, Berkabung Bukan Gangguan Jiwa.
Kriteria baru tersebut tercantum dalam usulan kitab diagnosis gangguan jiwa terbaru yang dikenal dengan nama Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 5 (DSM5). Kitab atau pedoman terbaru ini rencananya akan mulai dipakai pada 2013.
Dalam pedoman DSM-5, masa berkabung masih dikatakan normal hingga 2 pekan setelah peristiwa kematian. Pada pedoman sebelumnya yakni DSM-4, batas waktu berkabung yang normal masih 2 bulan dan bahkan dalam DSM-3 batas waktunya mencapai 1 Tahun.
Si satu sisi, pembatasan waktu berkabung yang semakin ketat berguna bagi para psikiater dalam mendiagnosis gangguan jiwa yang mengarah ke depresi berat. Menurut data, sebagian orang yang berkabungnya berlarut-larut bisa berkembang menjadi depresi berat dan butuh pengobatan.
Namun disisi lain, pembatasan yang terlalu ketat dianggap tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Bagi kebanyakan orang, berkabung adalah ungkapan rasa kehilangan yang merupakan naluri paling dasar ketika ditinggal orang yang sangat dicintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar